Aku menatap Yusuf. Dan Yusuf tahu arti tatapan itu.
“Nikah?”
“Kanda? Sehat?”
Aku menatap buku yang sedari tadi dipegang oleh Yusuf. Berusaha
membaca judulnya.
“Nggak ada hubungannya sama buku yang aku baca ini”
Sepertinya Yusuf tahu arti tatapanku melihat bukunya. Yusuf
meletakkan buku yang ia pegang. Animasi Pendidikan Flash karangan Priyanto
Hidayatullah. Oke nggak mungkin banget buku yang ini bisa mempengaruhinya untuk
bisa ngomong pertanyaan tadi.
Aku memandang Yusuf. Bukan sekedar memandang. Tapi berusaha
mencari tahu. Aku pingin tahu maksudmu apa. Hei.
“Hm, ulangi lagi”, senyum yang aku paksa nggak berpengaruh.
“Kalo kita nikah aja gimana?”
“Kanda, sehatkan?”, aku bingung mendengar pertanyaan ketiga
kali itu.
“Yaampun Dinda, iya sehat. Ini pertanyaan serius. Kok malah
bingung gitu sih?”
“Yaampun Kanda. Kanda itu barusan nanya pertanyaan apa?
Bukan sekedar ngajak makan. Tapi nikah. Ini serius gak sih?” gantian aku yang
nyolot.
“Iya Dinda. Ini serius”. Dari mata Yusuf, aku mulai
khawatir. Sial. Dia serius.
“Kanda ngelamar aku?”, aku bisa rasakan kalo pupil mata aku
membesar.
“Hehe, yaa belum ngelamar Dinda. Aku kan nanya, gimana kalo
kita nikah aja. Nanti kalo Dinda mau, baru aku ngelamar”
“Kanda barusan ngelamar aku di sini? Di warung es?” , aku
bisa rasakan kalo pupil mata aku membesar lagi.
Yusuf tersenyum. Lagi-lagi manis banget.
Dinda, kenapa kamu
bisa seajaib ini sih?
“Iya Dinda, di warung es ini aku nanya, Dinda mau nikah
nggak sama aku?”
“Aku belum bisa buat kejutan spesial. Kasih cincin permata
atau ngelamar di restoran mewah. Aku baru mampu nanya di warung es ini aja”
“Kalo Dinda mau, aku bakal ngelamar Dinda secara resmi”,
Yusuf lagi-lagi memasang senyum
“Aku bakal ngelamar Dinda ke rumah”
Aku, yang Yusuf panggil Dinda dari tadi. Yang barusan saja
mendengar ajakan menikah hanya bisa memandang Yusuf yang menunggu jawaban dari
bibirku.
“Kanda sehat?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar