Jumat, 28 Maret 2014

Ayo Mendaki! #2



Perjuangan panjang selama kurang lebih 3,5 jam akhirnya usai sudah. Kami tiba di Kuba dengan kondisi basah kuyub. Sayangnya, meski melewati rimba untuk bisa sampai di atas secepat mungkin, ternyata kami sudah didahului kelompok lain. Ya, Kuba sudah diambil alih oleh kelompok abang-abang yang membantu kami membawa carrier dan backpack saat di pavinblock tadi. Kami memutuskan mendirikan tenda di belakang Kuba. Karena lokasinya terlihat cukup nyaman. Sebagian dari tempat kami mendirikan tenda itu sudah di semen kasar. 

ini dia bentuk bangunan Kuba nya

Hujan mulai berhenti. Matahari bersinar sesaat. Sementara para lelaki mendirikan tenda, pelangi muncul di langit. Jika dilihat dari tempat kami berpijak, bentuknya persis setengah lingkaran. Keren!

Pelangi dan matahari muncul tidak lama. gerimis mulai turun dan tenda belum selesai dibangun. mungkin lebih tepatnya, bukan tenda yang dibangun, tapi terpal ukuran besar yang berusaha dijadikan tenda. Menggunakan kayu-kayu seadaanya bekas alat bantu saat berjalan di rimba tadi, tenda alakadarnya pun dapat berdiri. Kami bergegas masuk. Kondisi badan yang basah kuyub, hujan dan cuaca di atas yang sangat dingin membuat kami semua menggigil kedinginan. Para lelaki mengalah keluar sebentar untuk mempersilahkan para perempuan berganti pakaian. Untungnya berkat mantel plastik tadi, pakaian yang dibawa tidak basah. Agak repot juga ganti baju di dalam tenda saat itu. belum lagi, kedua sisi tenda terbuka. Sehingga kami harus gesit dan ekstra waspada kalau-kalau ada yang iseng mengintip.
Selesai berganti pakaian, badan mulai hangat walaupun ujung-ujung kaki dan tangan masih saja dingin. Dengan keadaan tenda yang becek dan basah. Kami yang semuanya kelaparan memutuskan segera makan. Untungnya kami sudah menyiapkan bekal masing-masing. Walaupun nasi bungkus yang aku bawa sudah nggak berbentuk lagi, tapi rasa laper dan dingin itu membuat semuanya terasa enak.

Selesai mengisi perut, kami mulai beres-beres. Di luar masih hujan. Ukuran tenda yang kecil membuat kami harus duduk berimpitan. Saat itu, jam baru menunjukan pukul 7 malam.
Malam berjalan terasa sangat lama di atas sana. Di luar masih hujan. Kami hanya bisa meringkuk kedinginan dengan jaket dan celana panjang. Kaos kaki dan sarung tidak mempan menghangatkan telapak kaki yang mati rasa sangking dinginnya. Para lelaki mulai mengeluarkan bilah papan yang sudah dipersiapkan dari sebelum berangkat untuk main song. Ada juga yang asyik main gitar sambil nyanyi-nyanyi.
Entah pukul berapa saat itu, aku kebelet pipis. Bersama Rita dan Mardah, kami keluar tenda untuk mencari tempat pipis. Di luar hujan sudah reda. Saat keluar, di depan kami terbentang hamparan lampu-lampu dari Kota Curup di malam hari. Waaa bagusss sekaliii. Kami pipis sambil memandang lampu-lampu di bawah sana. Sayang, karena udara yang sangat dingin, kami buru-buru masuk ke tenda lagi.

Kami mencoba untuk tidur. Para lelaki masih sibuk bermain. Saat itu sebagian dari para perempuan sudah ambil posisi untuk tidur. Karena ukuran tenda yang sempit, dengan sangat terpaksa kami harus tidur impit-impitan. Belum lagi tenda terpal yang kami gunakan mulai berembun. Tas yang kami gunakan sebagai bantal mulai basah karena rembesan embun. Aku, Rita dan Mardah dalam kondisi yang sulit untuk bergerak. Sempit sekali sehingga kaki kami harus dilipat agar bisa tiduran. Setiap sebentar, aku dan Rita duduk karena kaki kesemutan, punggung yang sakit karena tidur di atas semen kasar dan tidak rata. Belum lagi Rita yang saat itu reumatiknya kumat karena dingin. Kami berdua saling mengimpit kaki supaya terasa hangat, namun gagal. Kami duduk dan mengobrol. Ternyata kalau tidak tiduran, ujung kaki mulai terasa hangat.
Pukul 2 malam, Mardah, Rita dan aku memutuskan untuk minum kopi. Jadi kami masak air menggunakan kompor gas yang di bawa. Sebelumnya ada juga yang masak mie dan buat kopi. Sembari menunggu air mendidih kami asik ngobrol. Teman perempuan yang lain sudah tertidur semua. Panasnya air di atas sana benar-benar tidak mempan saat cuaca sedingin itu. tapi cukup membantu menghangatkan tangan. Sebagian dari para lelaki tidak tidur. Mereka menjaga kami yang tidur hingga pagi.

Pukul 5, aku bangun. Ternyata cuma bisa tidur 2 jam. Itu juga sering terbangun. Kami keluar tenda untuk melihat matahari terbit. Di luar masih gelap. Rita mulai merasa mules-mules mau buang air. Karena tidak bisa ditahan lagi, kami bertiga bersama Mardah pergi mencari spot yang pas untuk toilet Rita. Tak lama masalah Rita selesai. Kami kembali ke arah tenda dengan suka cita karena dari ufuk timur matahari mulai terbit. Luar biasa indah. Entah itu awan atau kabut. Kami seperti berada di atas lautan awan.

selamat pagi!
Selesai mengabadikan momen indah, kini giliran aku yang merasa mules-mules. Sebelum hari mulai terang, kami kembali mencari spot lain untuk proses pembuangan. Ditemukanlah sebuah tempat paling strategis di balik bukit kecil. Di sana tertutupi dari keramaian para pendaki yang mulai menampakkan diri. Untuk pertama kalinya, aku buang aer beratapkan langit sambil memandang matahari terbit. Sungguh syahdu.

Proses buang-buangan selesai. Kami bertiga menyusul teman-teman lain yang mulai naik ke tangga seribu untuk melihat kawah. Karena belum sarapan, kami berjalan gontai ke sana. Tapi setelah sampai ke atas, woo bagus. Mirip di Tangkuban Perahu. Bau belerangnya menyengat. Selesai dokumentasi kami segera turun karena kabut mulai muncul lagi. 

ini di atas kawah
Saat tiba di tenda, kami mulai kedinginan lagi. Kami memutuskan membuat air jahe. Selesai membuat air jahe, ternyata persediaan air untuk masak mie habis. Jadi aku, Ari, Rita dan Mardah pergi untuk mengambil air di mata air dekat tangga seribu. Selesai ambil air, naasnya aku terpeleset kulit pisang. Haduh. Malu diliat abang-abang pendaki lain. hahahaa

Kami bergegas memasak mie rebus. Walaupun hasilnya sedikit benyek, tapi karena perut laper dan cuaca dingin, mie satu panci itu pun habis dilibas bersama-sama. Rencana setelah makan, kami akan melanjutkan perjalanan menuju puncak. Namun karena kabut turun, maka rencana dibatalkan. Salah satu teman, Fektra ternyata sakit. Semacam masuk angin dicampur maag. Kami menghabiskan waktu dengan duduk-duduk sambil menunggu kabut menipis agar bisa segera turun. Hari mulai siang, sekitar pukul setengah 12 siang, kami memutuskan untuk nekat turun. Walaupun kabut masih mengitari, namun kami harus turun karena khawatir nanti akan hujan dan kabut semakin tebal.

bentuk tenda dan kabut yang melanda
Rute perjalanan pulang kali ini melewati aspal. Kami tidak sanggup jika harus lewat jalur rimba lagi. Dengan perlahan kami menuruni jalanan. Untungnya beban bawaanku yang sebelumnya tas ransel sudah dibawa oleh Nop, jadi aku cuma membawa tenda ukuran kecil yang ringan.
Kami berjalan terbagi menjadi dua kelompok lagi. Kali ini karena kelompok depan yang terdiri dari Ario, Dayek, Nirmala, Trisna dan Uci yang berjalan dengan cepat meninggalkan kami di belakang. Kelompok di belakang sering berhenti karena kondisi Fektra yang tidak enak badan. Beberapa kali Fektra berhenti karena muntah dan kelelahan. Izul membantu memijatnya supaya tetap kuat untuk turun.

Medan aspal ternyata tidak terlalu sulit. Kami hanya perlu sabar dan kaki yang kuat untuk menopang beban tubuh. Makin lama, jalur aspal makin sempit. Kiri dan kanan tampak semak belukar. Kadang sering kali terdengar suara monyet dari hutan tak jauh dari sana. Beberapa kali kami menemukan buah aneh di sisi jalan. Sedang asyik menikmati perjalanan, tiba-tiba gerimis mulai turun. Haduh. Lanjut terus kapten!

Sekitar pukul 2 siang kami tiba juga di gardu depan. Kami disambut oleh kabut yang cukup  tebal. Kami menyisiri jalan aspal. Kiri dan kanan ada rumah penduduk dan kebun sayur-sayuran. Jarak pandang terbatas, kami harus jalan dipinggir karena sering kali motor penduduk sekitar sering lewat. Tak lama, kami sampai di pos penjaga. Kami segera mencuci kaki dan tangan. Duduk sebentar dan langsung pulang menuju rumah Ari untuk istirahat.

Sesampai di rumah Ari, aku dan Mardah langsung mandi. segar rasanya bisa ketemu air dalam jumlah banyak seperti itu. ah habis mandi kami di tawari makan oleh ibu Ari. Alhamdulillah kenyang dan nyaman. Hahaha istirahat sebentar, pukul 5 sore kami pulang ke Bengkulu. Pulang kali ini aku nebeng sama Izul. Apesnya, di tengah jalan, Fektra yang bonceng Uci nggak kuat buat bawa motor lagi. Aku dioper sama Uci karena rombongan yang lain udah jauh di depan. Baru kali itu aku naik motor dibonceng cewek lewat jalur lintas sejauh itu. yang nambah bikin deg-degan, lampu dekat motor yang kami bawa kali ini mati. Habislah sudah. Sepanjang jalan banyak lubang dan truk yang lewat. Aku dan Uci jalan perlahan karena hari mulai gelap. Tak lama kami bertemu rombongan lain yang ternyata berhenti dan menunggu kami yang tak kunjung datang tadi. Karena solidaritas yang kuat, aku dan Uci diiringi menggunakan lampu jauh dari motor Syahban dan Dwi yang jalan di belakang kami. Sangat membantu pengelihatan kami. Sesekali kami berhenti karena Fektra yang muntah. Dan pukul setengah 9 kami memasuki Kota Bengkulu. Alhamdulillah lega rasanya.
Pengalaman mendaki kali ini sangat berkesan. Semoga bisa ke sana lagi. Atau mungkin, mendaki gunung-gunung lainnya :)

1 komentar:

  1. Sughoooiii...
    Dak sangko bibik kini lah jadi anak gunung... :D

    BalasHapus