Perjuangan panjang selama kurang lebih 3,5 jam akhirnya usai sudah. Kami
tiba di Kuba dengan kondisi basah kuyub. Sayangnya, meski melewati rimba untuk
bisa sampai di atas secepat mungkin, ternyata kami sudah didahului kelompok
lain. Ya, Kuba sudah diambil alih oleh kelompok abang-abang yang membantu kami
membawa carrier dan backpack saat di pavinblock tadi. Kami memutuskan
mendirikan tenda di belakang Kuba. Karena lokasinya terlihat cukup nyaman.
Sebagian dari tempat kami mendirikan tenda itu sudah di semen kasar.
![]() |
ini dia bentuk bangunan Kuba nya |
Hujan mulai berhenti. Matahari bersinar sesaat. Sementara para lelaki
mendirikan tenda, pelangi muncul di langit. Jika dilihat dari tempat kami
berpijak, bentuknya persis setengah lingkaran. Keren!
Pelangi dan matahari muncul tidak lama. gerimis mulai turun dan tenda belum
selesai dibangun. mungkin lebih tepatnya, bukan tenda yang dibangun, tapi
terpal ukuran besar yang berusaha dijadikan tenda. Menggunakan kayu-kayu
seadaanya bekas alat bantu saat berjalan di rimba tadi, tenda alakadarnya pun
dapat berdiri. Kami bergegas masuk. Kondisi badan yang basah kuyub, hujan dan
cuaca di atas yang sangat dingin membuat kami semua menggigil kedinginan. Para
lelaki mengalah keluar sebentar untuk mempersilahkan para perempuan berganti
pakaian. Untungnya berkat mantel plastik tadi, pakaian yang dibawa tidak basah.
Agak repot juga ganti baju di dalam tenda saat itu. belum lagi, kedua sisi
tenda terbuka. Sehingga kami harus gesit dan ekstra waspada kalau-kalau ada
yang iseng mengintip.
Selesai berganti pakaian, badan mulai hangat walaupun ujung-ujung kaki dan
tangan masih saja dingin. Dengan keadaan tenda yang becek dan basah. Kami yang
semuanya kelaparan memutuskan segera makan. Untungnya kami sudah menyiapkan
bekal masing-masing. Walaupun nasi bungkus yang aku bawa sudah nggak berbentuk
lagi, tapi rasa laper dan dingin itu membuat semuanya terasa enak.
Selesai mengisi perut, kami mulai beres-beres. Di luar masih hujan. Ukuran
tenda yang kecil membuat kami harus duduk berimpitan. Saat itu, jam baru
menunjukan pukul 7 malam.
Malam berjalan terasa sangat lama di atas sana. Di luar masih hujan. Kami
hanya bisa meringkuk kedinginan dengan jaket dan celana panjang. Kaos kaki dan
sarung tidak mempan menghangatkan telapak kaki yang mati rasa sangking
dinginnya. Para lelaki mulai mengeluarkan bilah papan yang sudah dipersiapkan
dari sebelum berangkat untuk main song. Ada juga yang asyik main gitar sambil
nyanyi-nyanyi.
Entah pukul berapa saat itu, aku kebelet pipis. Bersama Rita dan Mardah,
kami keluar tenda untuk mencari tempat pipis. Di luar hujan sudah reda. Saat
keluar, di depan kami terbentang hamparan lampu-lampu dari Kota Curup di malam
hari. Waaa bagusss sekaliii. Kami pipis sambil memandang lampu-lampu di bawah
sana. Sayang, karena udara yang sangat dingin, kami buru-buru masuk ke tenda
lagi.
Kami mencoba untuk tidur. Para lelaki masih sibuk bermain. Saat itu
sebagian dari para perempuan sudah ambil posisi untuk tidur. Karena ukuran
tenda yang sempit, dengan sangat terpaksa kami harus tidur impit-impitan. Belum
lagi tenda terpal yang kami gunakan mulai berembun. Tas yang kami gunakan
sebagai bantal mulai basah karena rembesan embun. Aku, Rita dan Mardah dalam
kondisi yang sulit untuk bergerak. Sempit sekali sehingga kaki kami harus
dilipat agar bisa tiduran. Setiap sebentar, aku dan Rita duduk karena kaki
kesemutan, punggung yang sakit karena tidur di atas semen kasar dan tidak rata.
Belum lagi Rita yang saat itu reumatiknya kumat karena dingin. Kami berdua
saling mengimpit kaki supaya terasa hangat, namun gagal. Kami duduk dan mengobrol.
Ternyata kalau tidak tiduran, ujung kaki mulai terasa hangat.
Pukul 2 malam, Mardah, Rita dan aku memutuskan untuk minum kopi. Jadi kami
masak air menggunakan kompor gas yang di bawa. Sebelumnya ada juga yang masak
mie dan buat kopi. Sembari menunggu air mendidih kami asik ngobrol. Teman
perempuan yang lain sudah tertidur semua. Panasnya air di atas sana benar-benar
tidak mempan saat cuaca sedingin itu. tapi cukup membantu menghangatkan tangan.
Sebagian dari para lelaki tidak tidur. Mereka menjaga kami yang tidur hingga
pagi.
Pukul 5, aku bangun. Ternyata cuma bisa tidur 2 jam. Itu juga sering
terbangun. Kami keluar tenda untuk melihat matahari terbit. Di luar masih
gelap. Rita mulai merasa mules-mules mau buang air. Karena tidak bisa ditahan
lagi, kami bertiga bersama Mardah pergi mencari spot yang pas untuk toilet
Rita. Tak lama masalah Rita selesai. Kami kembali ke arah tenda dengan suka
cita karena dari ufuk timur matahari mulai terbit. Luar biasa indah. Entah itu
awan atau kabut. Kami seperti berada di atas lautan awan.
![]() |
selamat pagi! |
Selesai mengabadikan momen indah, kini giliran aku yang merasa mules-mules.
Sebelum hari mulai terang, kami kembali mencari spot lain untuk proses
pembuangan. Ditemukanlah sebuah tempat paling strategis di balik bukit kecil. Di
sana tertutupi dari keramaian para pendaki yang mulai menampakkan diri. Untuk pertama
kalinya, aku buang aer beratapkan langit sambil memandang matahari terbit. Sungguh
syahdu.
Proses buang-buangan selesai. Kami bertiga menyusul teman-teman lain yang
mulai naik ke tangga seribu untuk melihat kawah. Karena belum sarapan, kami
berjalan gontai ke sana. Tapi setelah sampai ke atas, woo bagus. Mirip di
Tangkuban Perahu. Bau belerangnya menyengat. Selesai dokumentasi kami segera
turun karena kabut mulai muncul lagi.
![]() |
ini di atas kawah |
Saat tiba di tenda, kami mulai kedinginan lagi. Kami memutuskan membuat air
jahe. Selesai membuat air jahe, ternyata persediaan air untuk masak mie habis. Jadi
aku, Ari, Rita dan Mardah pergi untuk mengambil air di mata air dekat tangga
seribu. Selesai ambil air, naasnya aku terpeleset kulit pisang. Haduh. Malu diliat
abang-abang pendaki lain. hahahaa
Kami bergegas memasak mie rebus. Walaupun hasilnya sedikit benyek, tapi
karena perut laper dan cuaca dingin, mie satu panci itu pun habis dilibas
bersama-sama. Rencana setelah makan, kami akan melanjutkan perjalanan menuju
puncak. Namun karena kabut turun, maka rencana dibatalkan. Salah satu teman,
Fektra ternyata sakit. Semacam masuk angin dicampur maag. Kami menghabiskan
waktu dengan duduk-duduk sambil menunggu kabut menipis agar bisa segera turun. Hari
mulai siang, sekitar pukul setengah 12 siang, kami memutuskan untuk nekat
turun. Walaupun kabut masih mengitari, namun kami harus turun karena khawatir
nanti akan hujan dan kabut semakin tebal.
![]() |
bentuk tenda dan kabut yang melanda |
Rute perjalanan pulang kali ini melewati aspal. Kami tidak sanggup jika
harus lewat jalur rimba lagi. Dengan perlahan kami menuruni jalanan. Untungnya beban
bawaanku yang sebelumnya tas ransel sudah dibawa oleh Nop, jadi aku cuma
membawa tenda ukuran kecil yang ringan.
Kami berjalan terbagi menjadi dua kelompok lagi. Kali ini karena kelompok
depan yang terdiri dari Ario, Dayek, Nirmala, Trisna dan Uci yang berjalan
dengan cepat meninggalkan kami di belakang. Kelompok di belakang sering
berhenti karena kondisi Fektra yang tidak enak badan. Beberapa kali Fektra
berhenti karena muntah dan kelelahan. Izul membantu memijatnya supaya tetap
kuat untuk turun.
Medan aspal ternyata tidak terlalu sulit. Kami hanya perlu sabar dan kaki
yang kuat untuk menopang beban tubuh. Makin lama, jalur aspal makin sempit. Kiri
dan kanan tampak semak belukar. Kadang sering kali terdengar suara monyet dari
hutan tak jauh dari sana. Beberapa kali kami menemukan buah aneh di sisi jalan.
Sedang asyik menikmati perjalanan, tiba-tiba gerimis mulai turun. Haduh. Lanjut
terus kapten!
Sekitar pukul 2 siang kami tiba juga
di gardu depan. Kami disambut oleh kabut yang cukup tebal. Kami menyisiri jalan aspal. Kiri dan
kanan ada rumah penduduk dan kebun sayur-sayuran. Jarak pandang terbatas, kami
harus jalan dipinggir karena sering kali motor penduduk sekitar sering lewat. Tak
lama, kami sampai di pos penjaga. Kami segera mencuci kaki dan tangan. Duduk
sebentar dan langsung pulang menuju rumah Ari untuk istirahat.
Sesampai di rumah Ari, aku dan Mardah langsung mandi. segar rasanya bisa
ketemu air dalam jumlah banyak seperti itu. ah habis mandi kami di tawari makan
oleh ibu Ari. Alhamdulillah kenyang dan nyaman. Hahaha istirahat sebentar,
pukul 5 sore kami pulang ke Bengkulu. Pulang kali ini aku nebeng sama Izul. Apesnya,
di tengah jalan, Fektra yang bonceng Uci nggak kuat buat bawa motor lagi. Aku dioper
sama Uci karena rombongan yang lain udah jauh di depan. Baru kali itu aku naik
motor dibonceng cewek lewat jalur lintas sejauh itu. yang nambah bikin
deg-degan, lampu dekat motor yang kami bawa kali ini mati. Habislah sudah. Sepanjang
jalan banyak lubang dan truk yang lewat. Aku dan Uci jalan perlahan karena hari
mulai gelap. Tak lama kami bertemu rombongan lain yang ternyata berhenti dan
menunggu kami yang tak kunjung datang tadi. Karena solidaritas yang kuat, aku
dan Uci diiringi menggunakan lampu jauh dari motor Syahban dan Dwi yang jalan di
belakang kami. Sangat membantu pengelihatan kami. Sesekali kami berhenti karena
Fektra yang muntah. Dan pukul setengah 9 kami memasuki Kota Bengkulu.
Alhamdulillah lega rasanya.
Pengalaman mendaki kali ini sangat berkesan. Semoga bisa ke sana lagi. Atau
mungkin, mendaki gunung-gunung lainnya :)
Sughoooiii...
BalasHapusDak sangko bibik kini lah jadi anak gunung... :D