Minggu, 20 November 2011

Cerpen (2) ;p

Dan inilah cerpen yang entah mengapa bisa menang (-_____-"a) di acara Kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra (KBBS), Hima Bahtra FKIP UNIB 2011



Eternal Sunshine

Kubuka pintu kamar kos-kosan ku dengan terburu-buru. Baju dan badanku basah kuyup. Sepatu yang kukenakan penuh oleh tanah merah. Aku memasuki ruangan 3x4 meter itu dengan setengah berjinjit. Meraih handuk yang tergantung di balik pintu dan segera mandi.
Sedikit menggigil kedinginan, kuputuskan untuk melanjutkan mengerjakan proyek desain buletin kampus yang belum juga selesai. Aku menatap layar notebook ku dengan malas. Tiba-tiba buntu ide.
Aku memejamkan mata. Baru saja aku pulang dari pemakaman umum. Mengingat berita duka yang kuterima subuh tadi. Lula, teman kuliahku, meninggal dunia. Melalui pesan singkat, kabar haru itu menjelaskan bahwa Lula pergi tanpa sebab yang jelas. Lula tidak sakit. Pergi dengan tenang seusai sholat Tahajjud di waktu dua pertiga malam. Begitu membaca SMS itu, aku sempat terdiam lama. Aku jadi berfikir, ketika salah satu teman baik kita meninggal, saat itu juga kita sadar bahwa semua serba mungkin. Kematian memang masih sebuah misteri bagi kita. Tidak ada rumus yang bisa memperhitungkan kapan kita akan berpulang. Tidak ada dukun dan orang sakti yang tahu persis waktu saat jiwa dan raga kita terpisahkan.  Sebelumnya, aku selalu beranggapan bahwa kematian adalah suatu hal yang jauh dariku. Bukan sebuah panutan, bahwa seseorang akan meninggal di saat tua. Di saat semua kenikmatan duniawi pernah ia rasakan. Manusia bisa mati kapan saja. Jika Dia mau, maka semua bisa terjadi.
Gerimis mereda. Menyisakan uap di kaca jendelaku. Aku terpenjat dari lamunan singkat saat sebuah dering panggilan di telepon selularku berbunyi. Mami. Aku terdiam, berfikir dan mengira-ngira kenapa Mami meneleponku sore ini. Apa yang terjadi. Kuputuskan menerima panggilan itu. Suara Mami serak, seperti habis menangis, “Papi marah lagi, Ta”
Percakapan tak kurang dari 10 menit itu berakhir dengan salam penutup yang selalu Mami ucapkan, “Sudah dulu ya, ada Papi kamu”. Dengan nada bicara yang cukup panik, Mami memutuskan panggilan sore ini. Aku menghelakan nafas panjang. Pikiranku semakin kalut dan kacau. Kumatikan notebook yang masih hidup sejak tadi. Aku bergegas menyambar tas selempang yang biasa kubawa ke kampus. Keluar dari kamar pengap ini mungkin bisa menyegarkan pikiranku kembali. Kukeluarkan sepeda Pixie merah yang terparkir di teras rumah Bu Atmo, pemilik kos-kosan. Dan mulai menyusuri jalanan basah ke arah Barat, menuju taman kota yang tak jauh dari kompleks kampus biru ku.
Tak lama, aku sampai di taman kecil itu. Tercium bau rumput basah sehabis hujan. Genangan air tampak di beberapa tempat. Aku memperlambat kayuhan sepedaku. Memasuki area taman yang tampak sangat asri dengan beberapa tanaman hijau. Semilir angin menerpa wajahku yang lesu. Taman itu tampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang melintasi di trotoar pinggir jalan. Shelter TransYogya yang berada di seberang taman itu pun tampak lengang. Ada dua gerobak dagangan yang berjualan di dekat pintu masuk taman, Es Dawet Ayu dan Es Dogan yang tampak sepi. Hujan-hujan begini siapa juga yang mau jajanan dingin.
Aku memilih duduk di sebuah bangku taman yang terletak di bawah pohon Akasia. Kukeluarkan kamera analog tua merek Nikon FM10. Mengamati sekitar, aku mencari-cari objek yang unik untuk pameran bulan depan. Syarat untuk masuk menjadi anggota UKM Fotografi, salah satunya harus bisa menggunakan kamera analog, sebelum lanjut menggunakan kamera digital pro DSLR. Tapi jujur saja, aku lebih nyaman menggunakan kamera analog daripada digital. Kamera analog, lebih jujur dalam menghasilkan gambar. Meski masih menggunakan roll film, tapi itulah keunikannya. Hasilnya apa adanya. Tidak bisa diedit atau dihapus. Bahkan beberapa hasil jepretan kamera analog bisa memberikan bias warna yang cantik.
Kamera tua ini dulunya milik Papi. Beberapa bulan yang lalu, aku meminta Papi mengirimnya untukku. Karena memang tidak dipakai lagi, Papi memindahtangankan kepemilikkan kamera ini padaku. Meski Papi tidak terlalu setuju jika aku ikut UKM Fotografi, tapi aku bersikeras. Alasannya, anak Geologi harus bisa fotografi dengan baik dan benar. Akhirnya Papi mengalah. Bukankah pintu yang terus diketuk nanti akan dibukakan.
Papi, seorang ayah yang sangat disiplin dan keras dalam mendidik anak-anaknya. Papi lahir dan dibesarkan keluarga Batak keturunan Cina di daerah Medan. Bagi yang tidak mengenal siapa Papi, pasti mengira Papi orang yang sangat galak. Apalagi, sebagian besar keluarga besar Papi berasal dari akademi militer termasuk Papi. Perawakan Papi sangat menyeramkan, tubuh beliau besar tinggi, kulit putih, mata cipit, dan berjenggot.
Ingat Papi, aku jadi ingat Kak Rena. Kakak perempuanku. Kakak satu-satunya yang kumiliki. Sesosok wanita keras kepala seperti Papi. Wanita kuat yang sangat manis saat tersenyum. Tapi sangat mengerikan saat marah. Kak Rena, seorang kakak yang luarbiasa baik dan seorang kakak yang benar-benar kakak. Sangat bisa kuandalkan. Sangat pengertian. Sangat hangat dan gaul. Tapi Kak Rena, wanita yang sudah dua tahun belakangan ini tak kutemui. Satu-satunya saudara kandung yang kumiliki, yang pergi meninggalkanku, dan kami.
Memori dalam benakku berpilin memutar kejadiaan dua tahun lalu. Saat itu aku baru lulus SMA. Aku ingat betul kejadiaan siang itu, di rumah. Dengan keringat mengucur karena cuaca panas, seragam putih penuh dengan coretan aneka warna, senyum sumringah dan langkah penuh percaya diri, aku memasuki rumah dengan harapan Papi dan Mami akan menyambutku dengan pelukan hangat. Papi, Mami dan Kak Rena memang ada di ruang tamu saat itu. Tapi kehadiranku bagai diabaikan oleh mereka bertiga. Seolah aku tidak ada di sana. Aku dikejutkan dengan teriakan Kak Rena, “Papi tahu, Papi itu orang teregois yang pernah Rena kenal!”. Dan tamparan tangan kiri Papi-pun hinggap di pipi Kak Rena. Aku terbujur kaku menyaksikan serangkaian peristiwa mengejutkan ini di depan mata kepalaku sendiri. Sementara Mami, dengan air mata yang berlinang, memeluk Kak Rena dan ikut berteriak histeris, “Sudaahh, Pi! Sudaaahhh!”
Itulah saat terakhir aku melihat Kak Rena. Seketika, Kak Rena melepaskan pelukan Mami dan berlari ke kamarnya. Tidak keluar hingga malam tiba. Aku berdiri menatap pintu kamar Kak Rena. Kucoba mengetuknya, menawarkan makan malam. Tapi tak ada jawaban. Aku menghela nafas dan kembali ke meja makan, melanjutkan makan malam yang terasa sangat tidak menyenangkan dengan suasana yang serba aneh. Mami dan Papi tidak banyak bicara hingga kami selesai makan.
Keesokan paginya, aku terbangun mendengar teriakan Mami dari lantai atas. Dari kamar Kak Rena. Aku berlari secepat yang kubisa. Kakiku yang tersandung lemari pun ku abaikan rasa sakitnya. Aku menemukan Mami menangis memeluk Kak Rena yang  terbujur kaku di atas tempat tidurnya. Pergelangan tangan kirinya jatuh gontai bersimbah darah. Sementara sebuah silet tergeletak dibawah tempat tidurnya. Darah tak henti menetes dari luka robek di nadi tangan kirinya. Tapi pikiranku melayang terlalu jauh akan kemungkinan arti dari teriakan Mami itu. Tidak ada Kak Rena yang terbujur kaku bersimbah darah dari pergelangan tangan kirinya. Itu hanya imaginasiku saja. Yang ada hanya Mami yang sekarang duduk menangis di tempat tidur Kak Rena, sambil memegang secarik kertas. Sebuah surat. Berisi semua ungkapan hati Kak Rena selama ini.
“Rena pergi. Jangan khawatir. Tidak perlu cari Rena. Rena bisa buktikan kata-kata Rena”
Sebait pesan yang dalam artinya bagi Papi, Mami, dan aku. Ya, benar-benar seperti melepas seseorang yang pergi untuk selamanya. Itu pesan terakhir dari Kak Rena untuk kami semua. Dua tahun berlalu, kami benar-benar kehilangan Kak Rena. Benar-benar tidak ada lagi Kak Rena.

Lamunanku buyar saat seorang ibu tua paruh baya datang mendekat. Ibu tua itu memakai kebaya berwarna cokelat usang. Menggendong sebuah bakul besar di punggungnya, wajahnya jauh lebih terlihat kuyu daripada tampangku sore itu. Rambutnya berwarna kelabu, disanggul seadanya sehingga terlihat kusut. Senyum getir tersungging dari bibir tuanya, “Nasi, nak?”
Aku menatap Ibu tua itu lekat-lekat. Aku harap Ibu tua itu maklum jika tampang Sumatera ku ini mengisyaratkan bahwa Bahasa Jawa ku pas-pasan, “Berapa sebungkusnya, bu?”
“Tiga ribu, nak. Kalo pake ndok jadi empat ribu.”
Aku mengangguk, “Pake telor beli dua bungkus ya, bu”
Njeh, nak. Ibu bungkusin sek yo
Kukeluarkan limapuluh ribuan dari saku celanaku, “Ini bu”
“Walah, ndak ada uang pas toh nak? Ora ono kembaliane. Sek yo, Ibu nuker dulu”
Aku buru-buru menahan langkah Ibu tua itu, “Gak usah bu, ambil aja kembaliannya”
Akeh tenan, nak. Iki hargane cuma delapan ribu wae
“Iya bu, gak apa-apa. Untuk ibu aja”
Yowes, iki nyiso dua bungkus lagi, bawa pulang wae yo nak”
Aku bersikeras menolak, tapi si Ibu tua tetap memaksa. Beliau lantas pergi dan sekali lagi tersenyum getir menatapku, “Matur suwon yo, nak. Seng apik belajarne” (terima kasih banyak ya, nak. Yang baik belajarnya).
            Ibu tua berjalan limpang. Meski bakulnya terasa lebih ringan, tapi derita di bahunya terlihat masih terasa berat. Aku mengambil beberapa jepret foto sang Ibu tua hingga beliau menghilang di kejauhan.
Aku ingat Mami. Ingat tangan Mami yang semakin keriput. Saat aku mencium tangan beliau, terasa kasar termakan usia. Tidak sehalus dulu lagi. Beban hidup Mami sepertinya hampir sama dengan beban hidup Ibu tua penjual nasi tadi. Meski hidup serba berkecukupan, tapi Mami tidak sebahagia dulu. Yang kutahu, sekarang Mami sering duduk termenung sendiri. Sering menangis. Sering jatuh sakit. Sejak Kak Rena dan Papi yang bertengkar, sejak aku yang pergi merantau kuliah.
***
Matahari mulai terbenam. Kembali ke peraduannya. Menyisakan warna jingga menenangkan di ufuk barat. Dari bangku taman itu, aku mengambil beberapa sisi yang pas untuk diabadikan.
Aku bergegas pulang. Entah mengapa langkahku terasa ringan. Seolah beban yang kupendam selama ini menguap begitu saja. Aku mengayuh sepeda, melintasi beberapa pegawai kantor yang baru pulang bekerja. Jalanan mulai ramai kembali. Magrib menjelang. Aku mempercepat kayuhan sepedaku. Menjelang belokan ke arah kompleks kampusku, sebuah sepeda motor  menyerempetku dari arah belakang. Aku terpelanting ke badan jalan. Tanpa helm, kepalaku terbentur trotoar. Hanya ada rasa nyilu yang tak tertahankan saat itu. Badanku terasa kaku. Pandanganku mulai kabur. Dan seketika orang-orang menghampiriku. Diiringi dengan kumandang adzan Magrib, aku dilarikan ke rumah sakit terdekat.
***

Setelah tak sadarkan diri selama dua hari, aku mulai siuman. Aku terbangun dengan suasana yang berbeda. Tidak kutemukan satupun selang infus yang melekat di tubuhku. Tidak ada juga perban yang membalut luka di tubuh dan kepalaku. Bahkan rasa sakitpun tak ada lagi. Aku merasa sangat segar. Lantas aku tersadar, aku sudah tidak di rumah sakit lagi. Aku terjaga di sebuah tempat tidur di di dalam sebuah rumah. Dan, hey, ini kan rumahku. Aku tau ini rumahku. Kegembiraanku membuncah. Akhirnya aku bisa pulang juga. Kulihat di sebelahku tampak Mami yang tersenyum manis padaku. Aku membalasnya dengan nyengir lebar, “Mi..”. Sementara Papi datang mendekat kepadaku, ikut tersenyum. Aku pun menyapa, “Pi...”. Papi memegang bahu Mami, dan Mami pun menangis. Aku merasa bersalah. Merasa menjadi anak nakal yang selalu bikin masalah dan memperunyam suasana. “Mi, Pi, Rasta minta maaf yaa”, untaian kata maaf mengalir dari mulutku. Papi memeluk Mami, menatapnya dengan tatapan sangat lembut, “Ikhlaskan, Mi. Rasta akan tenang di sana”
            Dan yang tak kusadari, aku sekarang menatap Mami dan Papi dari tempat yang berbeda. Aku bisa melihat Mami dan Papi  menatap diriku yang lain yang terbaring di kasur itu. Lebih tepatnya, aku menatap Mami dan Papi, serta jasad ku di kasur itu. Semua yang barusan kuucapkan tentang permintaan maaf pada Mami dan Papi sesungguhnya tidak pernah terucap dari bibirku. Hidupku terasa sia-sia.
            Awan mendung menghampiri. Aku beranjak ke ambang pintu, bingung harus kemana. Tiba-tiba seseorang datang menghampiri Mami dan Papi. Setengah berlari, ia menghambur masuk menerobos diriku yang kasat mata. Kak Rena, datang dengan air mata berlinang, mencium dan memeluk jasadku. Menangis sejadi-jadinya. Berteriak, “Mengapa begitu cepat kau ambil adikku, Tuhan?”.
Mami memeluk Kak Rena, mengusap rambutnya, dan membisikkan dengan lembut, “Ikhlaskan, Ren”
***

Suasana pemakaman pagi itu tampak cukup ramai. Banyak keluarga dan teman-teman yang datang. Dahulu, aku sempat bertanya, bagaimana ya pemakamanku nanti? Apa ada yang datang? Apa banyak yang datang? Apa yang akan mereka katakan tentangku? Apa kenangan yang mereka ingat tentangku? Apa ada yang rela pergi jauh-jauh demi melihatku untuk yang terakhir kalinya ya?
Ternyata beginilah pemakamanku. Beberapa teman lama turut hadir, ada juga teman yang tidak terlalu dekat tapi tetap datang. Keluarga jauhku pun banyak di sana. Orang yang bener-bener hidup untuk kebaikan memang hidupnya akan selalu dikenang oleh orang lain. Kurasa ini lah alasan mereka datang, untuk melihat dan mengenangku untuk yang terakhir kali.
Di pinggir gundukkan tanah merah yang masih basah itu, Papi, Mami dan Kak Rena mengelilingi pusaraku. Namaku terukir indah di batu nisan, Rasta Satria Harahap. Ada kalimat doa yang mereka bacakan khusus untukku. Mami tiba-tiba memeluk Kak Rena, seolah tak ingin dipisahkan lagi. Papi ikut memeluk Kak Rena, tubuh besarnya terguncang. Ia menangis, memeluk anak perempuan manisnya, “Maafkan Papi, Ren. Sungguh. Maafkan, Papi”.
Kak Rena menatap mata tua Papi yang lelah. Segala kenangan indah masa lalu terhapus sudah dari mata Papi. Tergantikan oleh penderitaan yang selama dua tahun ia simpan dan jaga sebagai seorang Papi yang tegar.
Kak Rena seketika sujud bersimpuh di kaki Papi. “Maafkan Rena juga, Pi. Please, maafkan Rena yang selalu membangkak. Rena yang selalu keras kepala. Rena tahu Papi amat sayang sama Rena. Papi sangat peduli dengan masa depan Rena.”

Dan begitulah, aku tersenyum di bawah sebuah pohon Kamboja tak jauh dari sana. Menatap mereka, Papi, Mami dan Kak Rena yang sekarang saling berpeluk. Semua telah usai. Dahulu kupikir hidupku tak berrguna, sia-sia. Tapi, pengorbananku, deritaku, kematianku, semuanya berdampak baik. Untuk hidupku, itu sudah cukup. Meski aku tidak bisa membuat orang tuaku bangga dengan segala pencapaianku selama ini, tapi inilah jalan takdir yang bisa mempersatukan mereka. Kepergianku, mendatangkan suatu harapan baru buat keluargaku. Aku bisa tenang sekarang.
Perlahan, seiring sinar mentari abadi yang menyeruak di antara dedaunan, aku bisa merasakan genggaman-Nya yang mengajakku untuk naik ke peraduan terakhirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar