Minggu, 04 Mei 2014

Ayo Mendaki (lagi)



Karena ndaki Kaba nggak cukup sekali.

Sebulan setelah kami mendaki Bukit Kaba tanggal 22 Maret lalu, tanggal 26 April kemarin kami mendaki Bukit Kaba lagi. Yeah!
Ide mendaki ini muncul karena saat pendakian pertama kemarin hari hujan dan beberapa member dirasa kurang asyik, makanya beberapa member tidak diikutsertakan. Meski kali ini terkesan mendadak karena diadakan dua hari setelah beberapa member wisuda, tapi persiapan tetap maksimal. Iuran yang dikumpulkan dibelanjakan dengan lebih bijaksana untuk membeli makanan berat dan kebutuhan lain. Rencana awal, yang ikut adalah Izul, Ari, Kiting, Dang Okta, Nop, Ismid, Dwi, Aku, Rita, Mardah dan Inga (teman Dwi). Namun di detik terakhir menjelang keberangkatan, Mardah sms kalo batal ikut karena Ibu dan Adiknya sakit. Jleb. Rasanya aku jadi males ikut.Tapi nggak mungkin dan nggak enak sama yang lain. Akhirnya aku tetep ikut juga.
Rencana berangkat ke Curup hari Jum’at ba’da Ashar. Karena rencana mendaki hari Sabtu pagi. Kami akan menginap di rumah Ari semalam. Sebelum berangkat, kami berkumpul di rumah Izul. Saat menunggu Ari di simpangan, motor yang aku dan Nop tumpangi, tak sengaja menggilas anak kucing. Karena panik takut terjadi apa-apa, kami menyempatkan mengubur anak kucing malang itu. Dan berdoa semoga di jalan nanti tidak terjadi hal aneh.
Kami sempat berhenti di hutan saat magrib. Dan melanjutkan perjalanan menuju Kepahiyang. Di sana kami jajan gorengan pinggir jalan. Ternyata harga gorengan di sana hanya Rp. 500. Wow!
Perut kenyang, kami langsung hajar menuju Curup. Tiba di rumah Ari, kami beristirahat dan ditawari makan malam. Sebelum makan, para wanita memasak sambel goreng tempe untuk di bawa saat mendaki besok. Perut kenyang, mata pun ngantuk. Tapi harus packing barang yang akan di bawa besok. Rencananya para wanita nggak perlu bawa apa-apa. Semua barang dimasukkan ke dalam 4 carrier dan 2 ransel yang masing-masing akan disandang oleh para lelaki. Wah mereka jantan sekali. Sebenarnya badan sudah lelah. Saat itu pukul 10 malam, kami memutuskan untuk jalan kaki keliling nyari warung untuk beli kopi sachetan. Ternyata kami jalan cukup jauh. Sepanjang jalan kami sibuk ngobrol banyak hal. Hingga tak terasa sudah pukul 11 malam. Kami harus pulang.
gara-gara foto di tengah jalan, ditegur polisi yang lagi patroli
 Pagi hari, kami memasak nasi dan pergedel untuk bekal di atas. Ketika yang lain pada buang-buang aer, aku berusaha juga supaya bisa ikutan ngosongin perut. Sayangnya ga bisa keluar.  Duh ribet juga kalo pas naik nanti malah mules. Yah aku berdoa semoga nggak deh. Selesai mandi  dan sarapan, pukul 9 (padahal rencana awal pukul 7) kami berangkat menuju TKP. Alhamdulillah cuaca hari itu sangat cerah. Kami mulai mendaki melewati jalur rimba. Pagi itu suasana di pos penjaga terlihat sepi. Hanya ada sekelompok anak sekolahan yang tampak ingin hiking saja. Mungkin karena sudah beberapa kali jogging dan bergerak hilir mudik ke pasar, mendaki kali ini tidak sesulit saat pertama kemarin.

Ini pas lagi ndaki

Ini pas lagi istirahat, Kiting mencoba berayun, kalo berhasil nendang muka Rita (yang lagi moto, semua carrier Rita yang bawa)

Gendong carrier? gampang!

Ketemu mas-mas (ternyata adek-adek pendaki) yang bawa carrier super

menjelang pavinblock maut, hadapi dulu ini
Setelah dua jam setengah, kami tiba di Kuba. Sayangnya, meski mengejar berangkat pagi, Kuba sudah ditempati oleh sekelompok pendaki yang tiba kemarin. Kami memutuskan segera membuat tenda tepat di depan tangga seribu menuju kawah. Setelah tenda selesai, beberapa dari kami sholat di alam terbuka, oh syahdu.

lagi berusaha mendirikan tenda

ketemu mbak-mbak (ternyata adek-adek) dengan gaya keren

karena sholat di alam terbuka itu, semriwing dan miring

Selesai mendirikan tenda, kami makan siang. Hm rasanya nikmat sekali. Maklum saja, setelah lelah mendaki, kami akhirnya ketemu nasi juga. 

mari makan!

Dwi dan Inga lagi goreng pergedel

ini lah tenda kami

buat nampung air hujan

Tak lama setelah makan, saat sedang asyik menggoreng pergedel, dari atas tangga seribu yang mengarah ke kawah, turunlah sekelompok bapak-bapak yang tampak berpakaian rapi dengan peci. Salah seorang dari bapak-bapak itu dibopong dan beberapa kali muntah-muntah. Melihat kejadian itu, kami sedikit takut dan penasaran. Usut punya usut, kata salah seorang adik pendaki yang kebetulan ketemu di sana, rombongan bapak-bapak tadi habis melakukan ritual sesajen. Semacam minta ilmu. Dan salah satu yang sakit tadi, nggak mampu memenuhi syaratnya. Entahlah benar apa tidak. Ternyata masih mistis juga daerah sana.
Tak lama setelah kepergian rombongan bapak-bapak tadi, kelompok penunggu Kuba tengah bersiap-siap ingin turun gunung. Kami bergegas menghampiri mereka untuk membantu dan mengambil alih Kuba. Khawatir karena ada kelompok lain yang baru datang. Yaa di atas sana Kuba emang jadi rebutan. Hahaa. Kami segera membereskan tenda dan membawa barang-barang ke dalam Kuba. Wah nyamannya. Walau keadaan di dalam Kuba sana cukup creepy. Tapi paling tidak, kami aman dari angin dan hujan.

boss Izul lagi bersih-bersih Kuba

Beginilah bentuk Kuba yang kami tempati

nyanyi di atas Kuba

Kami naik ke atas Kuba. Di sana kami nyanyi dan ngobrol-ngobrol. Tak lupa membuat video dokumentasi. Waa dingin banget. Agak rintik-rintik hujan halus bikin nambah menggigil. Kami ingat belum ambil air untuk persediaan malem nanti. Jadi kami beramai-ramai mencari sumber mata air. Agak jauh, tapi dapet lumayan banyak.
Selesai ambil air, eh udah sore aja dunia. Beberapa dari kami memutuskan naik ke tangga seribu sekedar buat foto-foto. nggak lama di atas sana, kabut mulai turun. Kali ini cukup tebal dan cuaca semakin dingin. Kami turun dan kembali ke Kuba. Wah udah rame aja. Ada sekelompok pendaki yang baru tiba dan sedang memasang terpal di sebelah bangunan Kuba. Agak aneh juga ngeliat barang-barang yang mereka bawa, ada gas 3 kg. Mau masak apa sih? Hahaha.
Selesai magrib, kami naik ke Kuba lagi. Nyanyi-nyanyi nggak jelas. Ngobrol-ngobrol sambil ngeringkuk kedinginan. Anginnya kuenceng banget. Asli dingin banget. Aku nggak tahan lama-lama. kita yang cewek pada turun buat masak makan malam, sekadar mie rebus doang. Makan rame-rame di dalem Kuba. Haduh walau alakadarnya tapi kalo sama-sama gitu rasanya nikmat aja.

Malam itu ternyata langit cerah. Bintang-bintangnya banyak. Mana keliatannya langit itu deket banget kayak bisa disentuh aja. Belum lagi, kita bisa liat banyak lampu-lampu dari bawah sana. Gila. Romantis kayak di film-film suasananya. Ahihihi. Sayangnya, angin malam di atas sana tuh dingin banget. Jadi sisa malam kita habiskan di dalam Kuba. Buat menghangatkan badan sekalian ngobrol-ngobrol.
Ngantuk? Iyalah. Capek? Pasti. Jadi beberapa dari kami mulai ambil posisi untuk tidur termasuk aku. Meski nyaman, ternyata Kuba sempit juga kalo diisi 10 orang. Jadi kaki ku tetep nggak bisa lurus selonjoran. Mesti dibengkokin. Mana dingin. Haduh. Sepanjang malem aku gak bisa tidur dengan nyenyak. Saban sebentar bangun ganti posisi dan duduk buat selonjor. Sementara beberapa lelaki nggak tidur sampe pagi. Sibuk main kartu.
Keluar Kuba untuk wudhu, wuss anginnya dingin amat. Airnya? Kayak es. Abis wudhu bukan lagi seger, tapi udah menggigil. Selesai sholat, aku dan yang lain kebelet pipis. Di luar udah rame banget sama tenda-tenda yang entah kapan udah berdiri aja. Kami menuju ke arah tempat aku buang air kemarin. Itu tempat stategis soalnya rada tersembunyi. Eh tenyata dan ternyata, udah ada dua tenda aja di sana. Mana abang-abang pendakinya pada ngumpul di luar pula. Kita akhirnya nekat pipis di pinggir jalan aspal tak jauh dari sana. Kami lakukan dengan secepat mungkin. Bodo amat deh, yang penting bisa keluar. Lagian masih cukup gelap, jadi nggak begitu keliatan.
Pas kembali ke Kuba, Rita mendadak mules pengen buang aer. Aduh. Dimana lagi mau nyari spot. Tempat yang biasa kami jadikan tempat pembuangan udah rame gitu. Akhirnya kita berdua nekat nyari spot lain di deket tempat ambil air kemaren sore. Baru jalan dikit, ada aja ketemu rombongan lain yang baru mulai naik menuju daerah sekitar Kuba. Sebenernya daerah sekitar Kuba itu tempat yang pas buat liat sunrise. Makanya jam segitu, pendaki lain pada ngumpul di sana.
Kita berdua akhirnya lolos dari pengelihatan pendaki lain. Agak ekstim juga sih tempat buang aer Rita kali ini. Di balik semak-semak yang landai. Makumlah yaa menghindari dilihat orang. Selesai urusan, kami balik ke Kuba. Di sana udah banyak orang yang pada ambil posisi buat foto-foto. sayang  banget matahari agak malu-malu hari itu. nggak muncul dengan cantik kayak pas pertama ndaki kemaren. Dan berbeda dengan sebelumnya, jumlah pendaki yang naik banyak banget. Serasa di pasar. Ini kayaknya orang Curup dan Bengkulu pada ngungsi semua deh. Pas ndaki sebelumnya cumaa ada satu kelompok aja. Nggak nyaman juga sih kalo serame itu.
Sembari menunggu yang lain pada ambil air dan cuci muka, aku dan Rita masak nasi. Hasilnya, nasi setengah matang dan bau gosong. Hahaha akibat masak di panci sih bukan di periuk. Sekembalinya yang lain dari ambil air, kami masak untuk sarapan. Selesai mengisi tenaga, kami bergegas mengemas barang-barang. Rencananya jam 9 kami akan ke Kawah Mati. Kalau kuat, akan di lanjutkan ke Top (Puncaknya Bukit Kaba) melewati Bukit Gajah.

ayo turun, kapten!
 Perjalanan menuju Kawah Mati ternyata cukup berat jika harus menggendong carrier, kami memutuskan menitipkan bawaan kami pada salah satu tenda di dekat jalan masuk menuju Kawah Mati. Ternyata mereka adalah sekelompok anak SMP. Ya ampun sekecil itu udah berani naik. Hebat.

ini dia jalan menuju kawah mati

Medan menuju Kawah Mati itu melewati jalan berbatu yang terjal. Mirip seperti jalan menuju Machu Pichu di Peru. Kami harus berhati-hati. Berhasil melewati jalan berbatu terjal, ada jalan batu menanjak. Kami harus mendakinya. Benar saja, nggak akan mungkin melewatinya jika harus menggendong carrier. Nafas sudah ngos-ngosan, kami dihadapkan dengan jalan setapak yang kiri dan kanannya jurang. Menyisiri jalan itu, tibalah kami pada lereng berbatu dan berpasir. Kami harus turun ke sana untuk bisa melihat dengan dekat Kawah Mati. Bau belerang menyengat hidung. Sempat bikin sesak nafas dan pusing. Belum lagi jalan itu sering licin karena pasirnya nggak padat. Mudah longsor. Berapa kali kami hampir terpeleset. Untung masih bisa dibantu para lelaki. Hingga tibalah kami di Kawah Mati.


itu yang kecil itu rombongan yang lagi turun ke kawah mati
Gimana bentuk Kawah Mati? Persis seperti Tangkuban Perahu di Bandung. Airnya berwarna biru pasta. Cantik kayak puding. Diameter kawahnya cukup besar. Kami mengelilingi nya dan tiba di padang luas. Tampak banyak batu-batu berukuran segengam tangan yang disusun membentuk banyak nama pengunjung sana.
Selamat datang di Kawah Mati

Padang luas kayak di Bromo
Melewati padang luas itu, kami tiba di tebing batu curam. Di balik sana, terdapat Kawah Hidup yang pernah kami lihat kemarin dari tangga seribu di dekat bangunan Kuba. Bedanya, dari jalur ini, kita bisa turun dan melihat dengan dekat lubang-lubang asap belerangnya. Wuss.

Di balik bukit terjal itu, ada kawah hidup. Itu yang warna biru kecil adalah Ismid yang lagi usaha ndaki
Sebelum turun ke Kawah Hidup, kita dikelilingi oleh batu-batu terjal dan bukit-bukit besar. Mirip seperti setting film The Hobbit. Dari sana bisa kita lihat para pendaki yang majat tebing batu tanpa alat pengaman. Dari bawah, mereka kelihatan kecil semua. Ngeri. Btw, Sempet ada konflik antara aku dan boss Izul. Tapi untung bisa diselesaikan.

Ga semua member turun ke Kawah Hidup untuk liat danau belerang secara dekat. Yang turun cuman Kiting, Ari, Nop dan yang paling antusias itu Inga. Yang lain milih duduk di di atas sambil liat-liat dan foto-foto.
Mengingat kita udah menghabiskan waktu dua jam di sana, kami akhirnya memutuskan naik. Melewati jalur pas turun tadi. Haduh. Aku dan Rita paling ngerasa ribet, soalnya paling sering kepeleset. Untung para cowok bersedia nuntun kita-kita yang lemah ini.



siapa yang nuntun siapa sih

Fyi, empat cewek yang ikut ini pada kuat-kuat semua. Cuman kita acting lemah aja. Hahaha disuruh gendong carrier sih bisa ajaa, tapi yaa itu mereka yang laki-laki pada baik semua. Nggak mau kita bawa yang berat-berat. Saban sebentar selalu nanya, “kalo capek ngomong. Berenti dulu kito”. Dan selalu nawarin tangan kalo kita susah manjat (padahal bisa tuh manjatnya). Yaa gitulah enaknya jalan sama mereka. Paling kalo masalah masak-masak aja yang mereka maunya ngeboss. Urusan perut 100% tanggung jawab wanita. Urusan yang berat-berat, biar lanang.
4 wanita perkasa
Selesai mengambil carrier di tenda milik anak SMP tadi, kami lanjutkan perjalanan turun melewati rimba. Awalnya agak takut juga lewat rimba. Soalnya kemarin pas pulang kita lewat jalan aspal. Setelah dicoba, ternyata lebih mudah lewat rimba daripada aspal. Selain kaki nggak perlu menahan berat badan, jalannya juga gak begitu curam. Kami bahkan bisa lari menuruni jalan rimba. Kaki cukup dihentak-hentakan di tanah. Wuss langsung meluncur turun. Hati-hati aja jangan sampe kepeleset. Rita adalah member yang paling sering kepeleset karena salah pake sepatu. Permukaan bawah sepatunya licin. Untungnya gitar yang dia bawa aman-aman aja.
Kalo turun lewat aspal bisa dua setengah jam, lewat rimba bisa sampe satu jam setengah saja. sebelumnya pas lewat aspal, kita emang sering banget istirahat. Kalo lewat rimba, nggak begitu capek jadi  bisa lanjut terus. Menjelang sampe ke pos, tiba-tiba kami disambut oleh suara gemuruh. Tak lama, hujan pun turun dengan derasnya. Untungnya kami tiba tepat waktu di pos. Sembari menunggu hujan berhenti, kami istirahat dulu melihat hujan. Siang itu pos cukup ramai. Karena banyak yang mau naik dan turun. Maklumlah weekend. Apalagi abis anak SMA ujian akhir, jadi anak-anak SMA banyak yang main ke sana. Kita ngeliatin mbak-mbak yang bawa boneka Helloo Kitty ke atas sana. Yaampun. Kalo kita-kita yang bawa, wah bisa kena bacok sama para lelaki, “Nak kemano nian bawa-bawa boneka?”. Terus ada juga mbak-mbak yang pake jilbab pasmina. Walah ini mbak mau ke mall kali yaa, sempet-sempetnya dandan di atas sana. Ahihihi
Hujan reda sesaat, kita tancap pulang. Di jalan kita berhenti untuk makan. Kalap mata, aku mesen Baso dan Sate Ayam. Nikmatnyaa~ mungkin kalo jualan Baso di atas sana pasti untung besar. Dingin-dingin makan Baso. Wah!
Selesai makan, kami istirahat di rumah Ari. Ada yang tidur, mandi, beres-beres, makan atau beli oleh-oleh. Jam setengah 6 kita nekat pulang ke Bengkulu. Kali ini aku nggak dioper-oper lagi. Partnerku tetep Nop. Sampai di Kepahiyang rencananya kami mau beli gorengan lagi. Karena belum matang, kami nyari masjid dulu. Selesai sholat dan makan gorengan kami melanjutkan perjalanan. Di jalan kami berhenti untuk nyari jas hujan ponco. Karena dapet kabar kalo di Bengkulu lagi hujan deres. Tak lama ketika mulai masuk ke hutan, hujan benar-benar turun. Jarak pandang terbatas karena kabut tebal. Belum lagi jalan yang banyak bolong. Nggak jarang kami masuk lobang karena genangan air. Kami sempat berhenti karena ragu mau lanjut jalan atau menunggu hujan turun dan kabut menipis. Tapi setelah dilihat-lihat, hujan akan turun lama. kami putuskan untuk terus jalan secara perlahan-lahan dan tidak mencar terlalu jauh.
Selama perjalanan, aku ngantuk banget. Beberapa kali ketiduran. Untung nggak jatuh. Pukul setengah sembilan malam, kita memasuki Bengkulu. Alhamdulillah sampe juga dengan selamat. Walaupun badan menggiggil kedinginan, tapi perjalanan kali ini sangat berkesan!

1 komentar: