Minggu, 01 April 2012

Cerpen (4)

DREAM IS COLLAPSING

“Pak, tolong bukain pagarnya, Pak”, salah seorang siswa berpenampilan sedikit berantakan memohon.
“Wah, kamu kan terlambat. Ga bisa saya tolong lagi. Ini sudah lewat 30 menit”, seorang satpam tua tersenyum menjawab dari balik pagar.
“Tapi saya ada ujian Bahasa Inggris, Pak. Ga kasihan apa sama saya kalo ga ikut ujian?”, siswa itu memasang muka memelas.
Pak satpam itu tersenyum, “Memangnya kamu kelas berapa, nak?”
“Kelas XII, Pak. Tolong bukain, Pak. Aduh, nanti nilai saya gimana? Tolong sekali ini sajaaa”
Satpam itu berfikir sejenak, lalu tersenyum lagi, “Sekali ini saja ya. Lain kali jangan terlambat lagi”
“Iya iya, Pak. Makasih banget!”
“Kerjakan ujiannya yang benar”
“Iya, Pak”, anak itu berlari tanpa memalingkan wajah. Sementara satpam itu tetap tersenyum. Dalam hatinya bergumam, “Paling tidak, Danar pagi ini tidak terlambat”
**
Ujian hari ini tidak terlalu menyita perhatianku. Hanya ujian blok biasa. Suasana kelas sehabis ujian pun biasa saja. Tidak ada yang membahas Ujian Bahasa Inggris tadi. Teman-temanku lebih sibuk mengerjakan soal-soal latihan menjelang Ujian Akhir Nasional. Beberapa malah ada yang mengerjakan latihan soal untuk Ujian Masuk Perguruan Tinggi. Termasuk aku.
Persiapanku harus matang. Kupikir begitu. Ujian Masuk Perguruan Tinggi lebih menyita perhatianku. Lebih berat dari Ujian Akhir Nasional. Meskipun tak kupungkiri Ujian Akhir sangat penting. Tapi bukankah Ujian itu hanya demi sebuah status saja. Lulus dan tidak lulus. Sesuatu yang menurutku lebih cocok disebut sebagai Ujian Mental. Bagaimana mungkin, selama hampir 1095 hari belajar di bangku SMA, nasib seorang siswa hanya ditentukan dalam 5 hari? Tertekan. Sudah pasti.
Mungkin karena terlahir dari keluarga yang hidup secara pas-pasan, aku tumbuh menjadi seorang anak yang memiliki cita-cita tinggi. Ayah bekerja sebagai seorang satpam. Ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Kadang Ibu bekerja sebagai buruh cuci jika keuangan keluarga kurang baik. Biasanya itu terjadi di awal tahun ajaran baru. Saat Aku dan kedua orang adikku harus membayar uang sekolah.
Yang kutahu Ayah adalah sosok pekerja keras. Beliau punya tanggung jawab yang besar. Menghidupi kami dengan penghasilan yang pas-pasan. Bayangkan saja gaji seorang satpam. Di tengah kehidupan yang serba mahal sekarang, Ayah harus menafkahi empat kepala. Sebagai seorang anak pertama, apalagi anak laki-laki, posisiku sangat berat. Kalian pasti mengerti. Kedua adikku perempuan, masih sekolah di SD dan SMP. Sedangkan kedua orangku sudah tidak muda lagi. Ini tahun terakhirku di SMA, ada beban tersendiri yang kurasa.
Aku mencoba membantu sebisa mungkin. Mencoba beberapa pekerjaan yang cukup menghasilkan uang. Mulai dari penjaga masjid, kuli angkut belanjaan, kenek metromini, sampai mengajar privat beberapa anak tetangga. Paling tidak bisa meringankan beban Ayah.
**
Cuaca minggu siang ini tidak terlalu panas. Aku duduk di beranda, melamun. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Letih rasanya sehabis mengerjakan beberapa soal latihan. Aku memilih rehat sejenak. Rumah sepi. Ibu dan kedua adikku pergi ke pasar.
“Sebentar lagi Abang sudah mau tamat ya. Tidak terasa.”, Ayah tiba-tiba datang dari dalam rumah, mengejutkanku.
“Ah. Iya, Yah.”, aku memperbaiki posisi dudukku.
“Jadi, apa rencana Abang sehabis lulus nanti?”
“Abang mau lanjut kuliah. Kalau bisa nanti sambil kerja, Yah”
“Yaa, bagus itu. Ayah sih maunya Abang bisa jadi guru. Abang kan pintar. Dari kelas unggulan sejak sekolah dulu. Lagipula Ayah lihat Abang pintar mengajar les. Yang Ayah lihat di sekolah, prospek jadi guru itu bagus, Bang”
Aku terdiam. Jadi guru? Aku?
**
Dua bulan setelah Ujian Nasional, hari ini pengumuman SNMPTN. Selesai sholat subuh aku bergegas mandi. Aku tak sabar menunggu koran pagi ini.
**
Aku berbohong. Kurasa ini kali pertama aku berbohong pada Ayah. Lupakan tentang beberapa kebohongan masa kecilku dulu. Kali ini kebohongan yang kulakukan sangat membuat Ayah berbeda. Sikap Ayah yang tak biasanya. Antara marah dan kecewa. Di mata Ayah terlihat jelas ketidakpercayaan pada apa yang telah aku lakukan.
Dua bulan yang lalu, di beranda itu, saat Ayah memintaku menjadi guru, sejujurnya aku tidak mampu berkata apa-apa. Bagaimana mungkin aku bisa menolak permintaan Ayah. Aku tidak tega. Keinginan Ayah sungguh sangat sederhana. Kuliah di fakultas pendidikan, menjadi guru. Ayah berkata, dahulu Ayah bercita-cita menjadi guru. Namun keinginan Ayah tidak tercapai karena masalah klasik, kondisi keuangan. Hingga akhirnya Ayah hanya bisa bekerja sebagai seorang satpam sekolah. Ayah sangat bersimpati kepada guru. Beberapa guru di sekolah, bahkan amat Ayah kagumi karena kewibawaannya, kedisiplinannya, kecerdasannya, dan kebaikannya. Ayah sering membicarakan beberapa guru saat kami berbincang-bincang di rumah. Saat itu yang kulihat Ayah sangat antusias. Dan siang itu, aku tak mampu menolak.
“Kalau Ayah maunya begitu. Abang akan ikuti"
Mendengar jawaban itu, mata Ayah berbinar bangga.
**
“Abang ga bisa, Yah. Abang ga bisa bohong. Sungguh. Maafkan Abang”, aku menatap Ayah.
“Abang ga bisa jadi guru seperti yang Ayah inginkan. Hati Abang ga di sana. Maafkan Abang kalau Ayah kecewa atas pilihan Abang. Maafkan kalau Abang sudah bohongin Ayah. Maafkan Abang, Yah. Abang harap Ayah mengerti”
Ayah terdiam di ambang pintu. Matanya menatapku dengan tatapan kecewa. Beliau menghela nafas panjang. Lantas berbalik badan. Pergi berlalu tanpa mengatakan apa-apa. Meninggalkan koran pagi yang membawa berita kelulusan SNMPTN ku.
Aku terduduk lemas di balik meja belajar. Menunduk menatap kosong. Memikirkan apa yang kira-kira Ayah pikirkan. Kecewakah? Memikirkan apa yang Ayah rasakan. Sakit hatikah? Memikirkan apa yang barusan kukatakan pada Ayah. Kasarkah? Dan memikirkan segala kemungkinan yang nanti akan terjadi. Masa depanku.
**
Hari pertama kuliah. Aku semangat sekali pagi ini. Ibu sudah membuatkan sarapan spesial. Kedua adikku ikut menyemangatiku.
Ciee Abang ya udah kuliah sekarang”
“Dini juga mau kuliah di sana. Sama kayak Abang, nanti jadi Arsitek ya”
“Bukan Din, Abangmu itu Teknik Sipil. Beda kan ya, Bang?”, Ibu membenarkan.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Ayah keluar dari kamar. Telah berpakaian seragam. Rapi seperti biasanya.
Aku menunduk. Tiga bulan lebih Ayah masih bersikap acuh tak acuh. Aku mendapat bantuan dari seorang guru senior di sekolah. Biaya kuliah dan buku pelajaranku nanti, akan dibiayai oleh orang tua angkatku itu. Selain itu, aku juga masih bisa bekerja sambilan. Kuharap aku tidak menyusahkan Ayah lagi. Tapi sikap Ayah terhadapku masih sama. Tetap kecewa.
Seusai sarapan, aku pamit. Kucium tangan Ibu.
“Hati-hati ya, nak”, Ibu tersenyum lembut. Aku mengiyakan dan mengangguk.
“Yah, Abang berangkat”, kuberanikan diri memohon pamit kepada Ayah sembari mencium tangan Ayah.
Ayah menatapku lama. Beliau menghela nafas, tiba-tiba berkata, “Abang. Maafkan Ayah selama ini”, tiba-tiba senyum terindah tersungging dari bibir Ayah. Senyum yang jujur. Senyum yang selama ini kunantikan. Senyuman tanda merestui, “Ayah bangga sama Abang”
Aku menatap Ayah tak percaya, setengah ternganga, perasaan senang dan kaget. Perasaan lega tak terkira. Aku terdiam, mataku mengerjap meminta penjelasan. Tapi Ayah menepuk bahuku, “Sudah, berangkat sana. Nanti kamu terlambat”
**
Satu hal yang tak kuketahui, selama ini . Sejujurnya, Ayah sangat gembira aku bisa melanjutkan kuliah lagi. Sejujurnya, Ayah sangat bangga aku bisa diterima di Universitas nomor satu di negeri ini melalui jalur SNMPTN. Sejujurnya, Ayah sangat senang masih ada orang baik yang mau membantu dengan menjadi orang tua angkatku. Hanya Ayah merasa sedih akan ketidakjujuranku saat itu. Tapi aku tahu, sekarang Ayah tentu mengerti alasanku melakukan semua itu. Tentu demi tidak menyakiti hatinya. Sekarang, demi masa depanku, Ayah rela mengabaikan mimpinya dulu. Sekarang, Ayah tak bisa pungkiri kebanggaannya akan anak laki-lakinya, yang berdiri di hadapannya, memohon izin menimba ilmu, meraih mimpi-mimpinya, menjalani hidupnya. Sekarang, beliau telah rela mengikhlaskanku memilih jalanku sendiri.


Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri,
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi meski dalam mimpi.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah
Anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
- Khalil Gibran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar